Budaya politik dan sosialisasi politik
adalah pendekatan yang cukup akhir di dalam ilmu politik. Pendekatan ini
lahir setelah tuntasnya penelitian yang dilakukan oleh dua peneliti
Amerika Serikat yaitu Gabriel A. Almond dan Sydney Verba. Hasil
penelitian tersebut dituangkan di dalam buku mereka Budaya Politik, yang
merupakan hasil kajian antara tahun 1969 sampai dengan 1970 atas 5000
responden yang tersebar di 5 negara: Amerika Serikat, Inggris, Italia,
Meksiko, dan Jerman Barat.
Budaya politik berarti kecenderungan berperilaku individu terhadap
sistem politik yang berlaku di negaranya. Dalam pendekatan budaya
politik, individu merupakan subyek kajian yang utama dan bersifat
empiris, dalam arti pendapat orang per oranglah yang membangun
kesimpulan penelitian. Ini berbeda dengan pendekatan filsafat politik,
misalnya, yang lebih bersifat abstrak oleh sebab pendapat dibangun oleh
seseorang tanpa terlebih dahulu melihat fakta lapangan, atau paling
tidak, melalui serangkaian penelitian yang melibatkan orang banyak.
Potret Indonesia
Sementara itu, sosialisasi politik
merupakan instrumen yang berupaya melestarikan sebuah sistem politik.
Melalui serangkaian mekanisme dalam sosialisasi politik, individu dari
generasi selanjutnya dididik untuk memahami apa, bagaimana, dan untuk
apa sistem politik yang berlangsung di negaranya masing-masing berfungsi
untuk diri mereka.
Budaya Politik
Budaya politik adalah cara individu
berpikir, merasa, dan bertindak terhadap sistem politik serta
bagian-bagian yang ada di dalamnya, termasuk sikap atas peranan mereka
sendiri di dalam sistem politik.
Orientasi/kecenderungan individu terhadap sistem politik terbagi 3, yaitu:
- Orientasi Kognitif - Pengetahuan atas mekanisme input dan output sistem politik, termasuk pengetahuan atas hak dan kewajiban selaku warganegara.
- Orientasi Afektif - Perasaan
individu terhadap sistem politik, termasuk peran para aktor (politisi)
dan lembaga-lembaga politik (partai politik, eksekutif, legislatif, dan
yudikatif).
- Orientasi Evaluatif -
Keputusan dan pendapat individu tentang obyek-obyek politik yang secara
tipikal melibatkan standar nilai, kriteria informasi dan perasaan,
misalnya tampak saat pemilu.
Orientasi kognitif adalah pengetahuan.
Bagaimana individu mengetahui hak dan kewajiban warga negara di dalam
konstitusi, bagaimana individu mengetahui tata cara pemilihan umum,
bagaimana individu mengetahui partai politik dan aktivitas partai
tersebut, bagaimana individu mengetahui perilaku pemimpin-pemimpin
mereka lewat pemberitaan massa, merupakan contoh dari orientasi kognitif
ini. Pengetahuan-pengetahuan ini bersifat tidak tetap. Pengetahuan
bertambah atau tetap seiring dengan pengaruh-pengaruh dari lingkungan
sekeliling individu.
Orientasi afektif berbeda dengan
orientasi kognitif, oleh sebab orientasi afektif ini bergerak di dalam
konteks perasaan. Perasaan-perasaan seperti diperhatikan, diuntungkan,
merasa adil, sejahtera, suka atau tidak suka, ataupun sejenisnya, kerap
lebih menentukan ketimbang faktor pengetahuan. Oleh sebab itu, banyak
pemimpin negara yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan populis (sifatnya
populer) untuk mendongkrak aspek afektif warga negara. Di Indonesia,
kebijakan-kebijakan seperti Bantuan Langsung Tunai, Askeskin, Pembagian
Kompor Gas, dan sejenisnya bertujuan demi mengubah orientasi afektif
warga negaranya. Tujuan akhirnya adalah, agar masyarakat merasa
diperhatikan oleh pimpinan politik, dan mereka akan memilih para pemberi
bantuan di kemudian hari.
Orientasi Evaluatif merupakan
campuran antara orientasi kognitif dan afektif di dalam bentuk
keputusan/tindakan. Misalnya, setelah mengetahui bahwa partai A atau B
memang benar menyuarakan apa yang mereka inginkan, individu memilih
mereka di dalam suatu pemilu. Atau, sekelompok individu menggelar unjuk
rasa untuk mendukung seorang calon yang tengah ‘diserang’ oleh lawan
politiknya, semata-mata karena mereka merasa kenal dan sedikit tahu akan
jatidiri si politisi termaksud. Orientasi Evalutif muncul akibat adanya
pengaruh dari orientasi kognitif dan afektif.
Tipe-tipe Budaya Politik
Menurut Almond dan Verba, budaya
politik memiliki tipe-tipe tersendiri. Melalui hasil penelitian mereka
di 5 negara, keduanya menyimpulkan bahwa terdapat 3 budaya politik yang
dominan terdapat di tengah individu. Tipe budaya politik sendiri berarti
jenis kecenderungan individu di dalam sistem politik. Tipe-tipe budaya
politik yang ada adalah:
- Budaya Politik Parokial.
- Budaya Politik Subyek
- Budaya Politik Partisipan.
1. Budaya Politik Parokial
Budaya politik parokial merupakan
tipe budaya politik di mana ikatan seorang individu terhadap sebuah
sistem politik tidaklah begitu kuat, baik secara kognitif maupun
afektif. Di dalam tipe budaya politik ini, tidak ada peran politik yang
bersifat khusus. Individu tidak mengharapkan perubahan apapun dari
sistem politik. Ini diakibatkan oleh sebab individu tidak merasa bahwa
mereka adalah bagian dari sebuah bangsa secara keseluruhan. Individu
hanya merasa bahwa mereka terikat dengan kekuasaan yang dekat dengan
mereka, misalnya suku mereka, agama mereka, ataupun daerah mereka.
Budaya politik parokial kentara
misalnya, di dalam budaya masyarakat yang masih nomaden. Misalnya ini
terjadi di kafilah-kafilah badui jazirah Arabia, suku-suku pedalaman
Indonesia seperti Kubu, Dani, Asmat, Anak Dalam, dan sejenisnya. Contoh
tersebut dalam pengertian fisik. Namun, dapat pula kita kembangkan
parokialisme dalam pengertian lebih luas. Misalnya, dapat kita sebut
bahwa sebagian warga Aceh yang hendak memisahkan diri dari Republik
Indonesia sebagai menganut budaya politik parokial, oleh sebab mereka
tidak mengidentifikasi diri sebagai warga negara Republik Indonesia.
2. Budaya Politik Subyek
Budaya politik subyek adalah budaya
politik yang tingkatannya lebih tinggi dari parokial oleh sebab
individu merasa bahwa mereka adalah bagian dari warga suatu negara.
Individu yang berbudaya politik subyek juga memberi perhatian yang cukup
atas politik akan tetapi sifatnya pasif. Mereka kerap mengikuti
berita-berita politik tetapi tidak bangga atasnya, dalam arti, secara
emosional mereka tidak merasa terlibat dengan negara mereka. Saat mereka
tengah membicarakan masalah politik, cenderung ada perasaan tidak
nyaman oleh sebab mereka tidak mempercayai orang lain begitu saja. Di
ujung yang lain, saat berhadapan dengan institusi negara mereka merasa
lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Budaya politik subyek banyak
berlangsung di negara-negara yang kuat (strong government) tetapi
bercorak otoritaritarian atau totalitarian. Misalnya, budaya ini banyak
terjadi di Indonesia di saat pemerintah Presiden Suharto (masa Orde
Baru). Di masa tersebut, orang jarang ada yang berani membincangkan
masalah politik secara bebas, terlebih lagi mengkritik presiden ataupun
keluarganya. Gejala seperti ini juga terjadi di Cina, Korea Utara, Kuba,
atau sebagian negara makmur seperti Arab Saudi, Singapura, ataupun
Malaysia, yang sistem politiknya belum sepenuhnya demokrasi.
3. Budaya Politik Partisipan
Budaya politik partisipan adalah
budaya politik yang lebih tinggi tingkatannya ketimbang subyek. Dalam
budaya politik partisipan, individu mengerti bahwa mereka adalah warga
negara yang punya sejumlah hak maupun kewajiban. Hak misalnya untuk
menyatakan pendapat, memperoleh pekerjaan, penghasilan, pendidikan, dan
di sisi lain kewajiban untuk, misalnya, membayar pajak.
Dalam budaya politik partisipan,
sering dan merasa bebas mendiskusikan masalah politik. Mereka merasa
bahwa, hingga tingkatan tertentu, dapat mempengaruhi jalannkan
perpolitikan negara. Mereka pun merasa bebas dan mampu mendirikan
organisasi politik baik untuk memprotes ataupun mendukung pemerintah.
Jika tidak mendirikan organisasi politik, mereka pun banyak bergabung ke
dalam organisasi sukarela baik bersifat politik maupun tidak. Saat
mengikuti pemilu mereka cukup berbangga hati.
Budaya politik partisipan utamanya
banyak terjadi di negara-negara dengan tingkat kemakmuran dan keadilan
yang cukup tinggi. Jarang budaya politik partisipan terdapat di
negara-negara yang masih bercorak otoritarian, totaliter, ataupun
terbelakang secara ekonomi. Atau, jika tidak makmur secara ekonomi, maka
budaya politik partisipan muncul dalam sistem politik yang terbuka
seperti Demokrasi Liberal.
Sosialisasi Politik
Michael Rush dan Phillip Althoff
merupakan dua orang yang memperkenalkan teori sosialisasi politik
melalui buku mereka Pengantar Sosiologi Politik. Dalam buku tersebut,
Rush dan Althoff menerbitkan terminologi baru dalam menganalisis
perilaku politik tingkat individu yaitu sosialisasi politik.
Sosialisasi politik adalah proses
oleh pengaruh mana seorang individu bisa mengenali sistem politik yang
kemudian menentukan persepsi serta reaksinya terhadap gejala-gejala
politik. Sistem politik dapat saja berupa input politik, output politik,
maupun orang-orang yang menjalankan pemerintahan. Fungsi sosialisasi
menurut Rush dan Althoff adalah:
- Melatih Individu
- Memelihara Sistem Politik
Sosialisasi politik melatih individu
dalam memasukkan nilai-nilai politik yang berlaku di dalam sebuah sistem
politik. Misalnya di Indonesia menganut ideologi negara yaitu
Pancasila. Oleh sebab itu sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi
diberlakukan pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Ini
merupakan proses pelatihan yang dilakukan negara terhadap warga
negaranya. Pelatihan ini memungkinkan individu untuk menerima atau
melakukan suatu penolakan atas tindakan pemerintah, mematuhi hukum,
melibatkan diri dalam politik, ataupun memilih dalam pemilihan umum.
Selain itu, sosialisasi politik
juga bertujuan untuk memelihara sistem politik dan pemerintahan yang
resmi. Apa jadinya suatu negara atau bangsa jika warga negaranya tidak
tahu warna bendera sendiri, lagu kebangsaan sendiri, bahasa sendiri,
ataupun pemerintah yang tengah memerintahnya sendiri ? Mereka akan
menjadi warga negara tanpa identitas, tentunya.
Dalam melakukan kegiatan sosialisasi politik, Rush dan Althoff menyuratkan terdapat 3 cara, yaitu:
- Imitasi
- Instruksi
- Motivasi
Imitasi. Melalui imitasi,
seorang individu meniru terhadap tingkah laku individu lainnya.
Misalnya, Gus Dur adalah anak dari K.H. Wahid Hasyim dan cucu dari
pendiri Nahdlatul Ulama, K.H. Hasyim Asy’ari. Gus Dur sejak kecil akrab
dengan lingkungan pesantren dan budaya politik Nahdlatul Ulama, termasuk
dengan kiai-kiainya. Budaya tersebut mempengaruhi tindakan-tindakan
politiknya yang cenderung bercorak Islam moderat seperti yang ditampakan
oleh organisasi Nahdlatul Ulama secara umum.
Instruksi. Cara melakukan
sosialisasi politik yang kedua adalah instruksi. Gaya ini banyak
berkembang di lingkungan militer ataupun organisasi lain yang
terstruktur secara rapi melalui rantai komando. Melalui instruksi,
seorang individu diberitahu oleh orang lain mengenai posisinya di dalam
sistem politik, apa yang harus mereka lakukan, bagaimana, dan untuk apa.
Cara instruksi ini juga terjadi di sekolah-sekolah, dalam mana guru
mengajarkan siswa tentang sistem politik dan budaya politik yang ada di
negara mereka.
Motivasi. Cara melakukan
sosialisasi politik yang terakhir adalah motivasi. Melalui cara ini,
individu langsung belajar dari pengalaman, membandingkan pendapat dan
tingkah sendiri dengan tingkah orang lain. Dapat saja seorang individu
yang besar dari keluarga yang beragama secara puritan, ketika besar ia
bergabung dengan kelompok-kelompok politik yang lebih bercorak sekular.
Misalnya ini terjadi di dalam tokoh Tan Malaka. Tokoh politik Indonesia
asal Minangkabau ini ketika kecil dibesarkan di dalam lingkungan Islam
pesantren, tetapi ketika besar ia merantau dan menimba aneka ilmu dan
akhirnya bergabung dengan komintern. Meskipun menjadi anggota dari
organisasi komunis internasional, yang tentu saja bercorak sekular, ia
tetap tidak setuju dengan pendapat komintern yang menilai gerapak pan
islamisme sebagai musuh. Namun, tetap saja tokoh Tan Malaka ini menempuh
cara sosialisasi politik yang bercorak motivasi.
Agen-agen Sosialisasi Politik
Dalam kegiatan sosialisasi politik
dikenal yang namanya agen. Agen inilah yang melakukan kegiatan memberi
pengaruh kepada individu. Rush dan Althoff menggariskan terdapatnya 5
agen sosialisasi politik yang umum diketahui, yaitu:
- keluarga
- sekolah
- peer groups
- media massa
- pemerintah
- partai politik
Keluarga. Keluarga merupakan
primary group dan agen sosialisasi utama yang membentuk karakter politik
individu oleh sebab mereka adalah lembaga sosial yang paling dekat.
Peran ayah, ibu, saudara, memberi pengaruh yang tidak kecil terhadap
pandangan politik satu individu. Tokoh Sukarno misalnya, memperoleh
nilai-nilai penentangan terhadap Belanda melalui ibunya, Ida Ayu Nyoman
Rai. Ibunya, yang merupakan keluarga bangsawan Bali menceritakan
kepahlawanan raja-raja Bali dalam menentang Belanda di saat mereka
tengah berbicara. Cerita-cerita tersebut menumbuhkan kesadaran dan
semangat Sukarno untuk memperjuangkan kemerdekaan bagi bangsanya yang
terjajah oleh Belanda.
Sekolah. Selain keluarga, sekolah
juga menempati posisi penting sebagai agen sosialisasi politik. Sekolah
merupakan secondary group. Kebanyakan dari kita mengetahui lagu
kebangsaan, dasar negara, pemerintah yang ada, dari sekolah. Oleh sebab
itu, sistem pendidikan nasional selalu tidak terlepas dari pantauan
negara oleh sebab peran pentingnya ini.
Peer Group. Agen sosialisasi
politik lainnya adalah peer group. Peer group masuk kategori agen
sosialisasi politik Primary Group. Peer group adalah teman-teman sebaya
yang mengelilingi seorang individu. Apa yang dilakukan oleh teman-teman
sebaya tentu sangat mempengaruhi beberapa tindakan kita, bukan ? Tokoh
semacam Moh. Hatta banyak memiliki pandangan-pandangam yang sosialistik
saat ia bergaul dengan teman-temannya di bangku kuliah di Negeri
Belanda. Melalui kegiatannya dengan kawan sebaya tersebut, Hatta mampu
mengeluarkan konsep koperasi sebagai lembaga ekonomi khas Indonesia di
kemudian hari. Demikian pula pandangannya atas sistem politik demokrasi
yang bersimpangan jalan dengan Sukarno di masa kemudian.
Media Massa. Media massa
merupakan agen sosialisasi politik secondary group. Tidak perlu
disebutkan lagi pengaruh media massa terhadap seorang individu.
Berita-berita yang dikemas dalam media audio visual (televisi), surat
kabat cetak, internet, ataupun radio, yang berisikan perilaku pemerintah
ataupun partai politik banyak mempengaruhi kita. Meskipun tidak
memiliki kedalaman, tetapi media massa mampun menyita perhatian individu
oleh sebab sifatnya yang terkadang menarik atau cenderung ‘berlebihan.’
Pemerintah. Pemerintah
merupakan agen sosialisasi politik secondary group. Pemerintah merupakan
agen yang punya kepentingan langsung atas sosialisasi politik.
Pemerintah yang menjalankan sistem politik dan stabilitasnya. Pemerintah
biasanya melibatkan diri dalam politik pendidikan, di mana beberapa
mata pelajaran ditujukan untuk memperkenalkan siswa kepada sistem
politik negara, pemimpin, lagu kebangsaan, dan sejenisnya. Pemerintah
juga, secara tidak langsung, melakukan sosialisasi politik melalui
tindakan-tindakannya. Melalui tindakan pemerintah, orientasi afektif
individu bisa terpengaruh dan ini mempengaruhi budaya politiknya.
Partai Politik. Partai
politik adalah agen sosialisasi politik secondary group. Partai politik
biasanya membawakan kepentingan nilai spesifik dari warga negara,
seperti agama, kebudayaan, keadilan, nasionalisme, dan sejenisnya.
Melalui partai politik dan kegiatannya, individu dapat mengetahui
kegiatan politik di negara, pemimpin-pemimpin baru, dan
kebijakan-kebijakan yang ada.
-------------------------------------------------------
Referensi
- Gabriel A. Almond dan Sydney Verba, Budaya Politik, (Jakarta: Rajawali Press)
- Michael Rush dan Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, (Jakarta: Rajawali Press)
- Mary Hawkesworth and Maurice Kogan, Encyclopedia of Government and Politics, (London: Routledge, 1992)
tags:
pengertian budaya politik pengertian sosialisasi politik jenis-jenis budaya politik agen-agen sosialisasi politik
trima kasih pak
1. Mohamad Najib, editor, Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara, Volume 2, (Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdlatul Ulama Daerah Istimewa Yogyakarta, 1996).
2. Irfan Noor, Demokrasi dan Budaya Banjar, (Makalah, banyak catatak kaki yang bisa ditelusuri di tulisan ini). Sediakan akun Scribd.
3. Ninuk Kleden-Probonegoro, The Mamanda Theater and the Redefinition of the Banjar Identity (Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA, 2002 26 (69):10–23). Banyak catatan kaki yang bisa diacu.
Semoga membantu.
Kalau boleh tahu, contoh untuk yang bagian mana, ya?
To : ezra
Sama-sama. Semoga bermanfaat.
tipsnya bagus sekali untuk dibaca dan dipelajari…..
terima kasih atas informassinya….
alangkah baik nya kita saling berbagi informasi dengan mengunjungi website kami http://ict.unsri.ac.id
terimah kasih..
Mungkin ini beberapa contohnya:
1. Wijianto, Profil Budaya Politik Masyarakat Pedesaan di Kabupaten Wonogiri (Universitas Negeri Surakarta: FKIP, 2006). Simpulannya: Profil budaya politik masyarakat pedesaan di kabupaten Wonogiri adalah budaya politik subyek-parokial.
2. J. Stephen Hoadley, "Hong Kong Is the Lifeboat: Notes on Political Culture and Socialization," Journal of Oriental Studies, 8 (1970)
3. J. Rear, "One Brand of Politics," dalam K. Hopkins, ed, Hong Kong: The Industrial Colony, (Hong Kong: Oxford University Press, 1971)
4. Maribeth Erb and Priyambudi Sulistiyanto, Deepening Democracy in Indonesia? Direct Election for Local Leaders (Pilkada) (Singapore: ISEAS, 2009).
5. Krishna Sen and David T. Hill, Media, Culture and Politics in Indonesia (Jakarta: PT. Equinox Publishing Indonesia, 2007). Khususnya bab introduction.
6. Clifford Geertz, "Afterword: The Politics of Meaning" dalam Claire Holt, ed., Culture and Politics in Indonesia (Singapore: Equinox, 2007).
2. Ketika seorang warganegara secara subyektif sadar bernegara secara nasional tetapi menekankan peran pasif, adalah sebagian contoh subyek.
3. Ketia seorang warganegara secara subyektif sadar bernegara haruslah partisipatoris, adalah sebagian contoh partisipan.
Semoga Tuhan membalas semua kebaikan Anda :---)
dan berikan contoh budaya politik yang selalu berkaitan dengan masalah kenegaraan dan ketatanegaraan
Mohon bantuannya, pak.
Terima kasih sebelumnya.
Sama-sama. Semoga bermanfaat.